Jumat, 17 Juni 2011

Perlawanan, Musik dan Aspal Jalanan

Perlawanan, Musik dan Aspal Jalanan
Oleh Adhi Wicaksono





















“They’re on the streets
Breaking the rules
From broken homes,
We’re nobody’s fools”
(The Casualties - Street Punk)

Mereka ada di jalanan,
berbagi siang dan malam dengan kehidupan...

Lepas dari segala ikatan adalah impian. Meninggalkan rumah, membebaskan diri dari kenyamanan. Sesekali mereka kembali, sejenak melepas rindu pada keluarga
tercinta. Namun, kadang kala yang diterima hanyalah penolakan. Keluarga pun sulit menerima keputusan mereka menjadi anak punk.

Mereka ada di jalanan,
menggunakan nyali dan keterampilan untuk bertahan...

Dalam sebuah tongkrongan, semua serba terbuka, termasuk pada kawan dari luar daerah. Jiwa liar berkumpul dalam lingkaran, dengan ide-ide gila yang beragam. Asas kebersamaan dan prinsip do it yourself-lah yang menyatukan. Demi musik dan makan apapun mereka lakukan. Mulai dari mengamen, sampai men-tattoo teman sendiri. Saweran kerap dijalankan demi menyiasati kerasnya hidup di jalanan. Untuk sebatang rokok, hingga seliter minuman penghangat malam.
Mereka ada di jalanan,
menjalani hari demi hari dengan menyatukan kepalan tangan...

Stigma negatif masyarakat melekat erat di badan mereka. Mulai dari kriminal, pemabuk, hingga preman. Bagi mereka, label itu tak lebih dari angin lalu. Tak peduli siapa dan dari mana, semua dalam satu suara berjuang membentuk ruang-ruang baru untuk mandiri. “Punk adalah merayakan hidup untuk melakukan sesuatu dengan kemampuan sendiri,”  jawab salah satu dari mereka.

Mereka ada di jalanan,
Melawan keteraturan, mencari kebebasan...

Beberapa orang tidak segan mengajak bercengkerama, beberapa ingin mereka masuk penjara. Beberapa tulus menghargai, beberapa kesal memaki. Mungkin yang meremehkan mereka itu lupa, kalau dibalik jaket lusuh, kaus kumal dan jeans tipis itu juga manusia.

Sang Toya Yekti

Sang Toya Yekti
Oleh Budi Setiawan

 

 




“Tuk mancur saka dhuwur, kabeh umat bisa makmur, Gunung Merapi kasuwur, ati tentrem wit ngaluhur,
kamulyaning pangeran, pancen nyata tumrap bangsa...”


Lantunan bait lagu bertajuk Tuk Mancur berkumandang sepanjang ritual perayaan Natal di Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dusun, tujuh kilometer di sebelah barat puncak Gunung Merapi. Syair tembang tersebut kurang lebih berarti,  “Mata air memancar dari atas (Gunung Merapi), membuat semua warga hidup makmur. Merapi yang termasyhur telah membuat hati warga tenteram. Kemuliaan Allah sungguh nyata untuk kehidupan Bangsa Indonesia.”

Natal di desa ini memang tidak hanya berisi misa. Di dalamnya terdapat ritual menyucikan kembali seluruh aliran mata air di Gunung Merapi yang disebut Sang Toya Yekti. Ritual yang telah dilakukan sembilan tahun belakangan ini merupakan wujud syukur petani setempat atas air yang berlimpah dari Gunung Merapi yang menjadi sumber kehidupan mereka selama ini bagi pertanian dan kebutuhan sehari-hari. Dalam ritual ini, warga berjalan beriringan dipimpin seorang Romo Gereja Paroki Santa Maria Lourdes Desa Sumber, Kecamatan Dukun menuju sumber-sumber mata air dan rumah-rumah untuk memberkati alat-alat pertanian mereka.

Letusan Gunung Merapi pada November 2010 kemarin telah memberi banyak pelajaran bagi warga sekitar, salah satunya mengenai kerusakan lingkungan. Namun, Gunung Merapi masih menyisakan sumber mata air bagi mereka. Untuk itu warga kaki Gunung Merapi terus bersyukur dengan menjaga kelestarian alamnya. Karena bagi mereka, air adalah sumber kehidupan.

Luapan Sebelum Lenyap

Luapan Sebelum Lenyap
Oleh Caron Toshiko




 
 


 

Ini pilihan gue untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk urusan perut.

Ngerasain kehidupan jalanan – yang dibilang anak-anak gedongan sangat keras – bukan masalah buat gue. Malah itu yang membuat gue nggak cengeng. Nggak kayak mereka yang maunya di rumah aja. Makan tidur makan tidur.

Harusnya gue ngerasain masa kecil, dunia anak-anak yang selalu bermain. Tapi sekarang buat gue jalanan ini adalah arena permainan. Nggak makan berhari-hari, penghinaan, penelantaran, sampai penculikan udah jadi aturan permainan yang harus dihadapin. Dari melek sampai merem, polusi dan polisi sudah menjadi teman bermain gue. Tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit, matahari dan bulan udah jadi teman penerang.

Siapa yang berani sama gue, gue jabanin satu satu. Kalau perlu gue korbanin gitar-gitar gue yang buat ngamen untuk poprok orang-orang yang gue anggep musuh. Tapi kalau berantem sama temen sendiri, gue mending ngalah daripada gue nangis. Gembel-gembel gini gue juga manusia, masih punya harga diri.

Keluarga gue? Gue hidup pindah-pindah. Bokap cuma bisa nyuruh-nyuruh gue buat cari duit duit duit. Sedangkan dia cuma bisa judi ngabisin duit. Nyokap sakit- sakitan nggak dikasih makan sama bokap. Sampe-sampe gue bunuh bokap gue sendiri karena perlakuannya ke gue dan nyokap gue. Itu semua cuma karena urusan perut, hasil kemiskinan.

Ada yang bilang kalau gue dan temen-temen gue adalah generasi penerus di masa depan. Tapi kalau kita ‘sekarat’, menurut gue masa depan itu nggak ada.

A, Grogol

Peng!

Peng!
Oleh Ali Syahbana





 
 

Kami tidak akan berhenti hanya di sebatas doa. Kami juga tidak akan terpaku hanya karena keluh. Kelemahan kami sudah ada yang menguatkan. Kesabaran kami sudah ada yang memberikan balasan. Jadi untuk apa kami harus melempar asa?

Kami terbiasa menyambut duka dengan canda. Kami tertawa. Kami sudah pernah bertemu susah, ribuan kali. Kami tidak mundur, bahkan demi hari ini. Untuk apa bersedih? Demi air mata sendiri?

Sejak Maret 2005, salah satu dari kami terbaring lemah. Walau hanya untuk duduk, duh, susah. Harus beradaptasi dengan kursi roda. Harus rela dengan tindihan beban di dada. Tapi kami tidak pincang, masih bisa berjuang. Dan akan terus bertahan bersama putra kami yang empat orang. Multiple sclerosis memang sedang menyerang saraf pusat. Tapi kami tidak sakit, hanya sejenak beristirahat.

Tidak ada penyakit yang menyengsarakan, ketika kelapang-an hati yang menular. Tidak ada sengsara yang menyakitkan, ketika ketabahan yang disebar.

Keyakinan kami mendahului kenyataan. Kenyataan yang kami yakini melahirkan kekuatan. Kekuatan inilah yang kami gunakan untuk bertahan. Kami dihujani harapan yang belum pernah muncul sebelumnya. Kondisi ini membuat kami menjalani peran baru secara istimewa. Sebuah kesadaran tentang arti sesungguhnya kelemahan dan kelebihan manusia.

Di sini, di dalam kamar yang kami sebut sebagai gua, kami tidak bersembunyi. Kami tetap mengamati. Mengikuti. Juga menikmati. Kami tetap bekerja. Berkarya. Juga berdoa.

Dan untuk semua peran ini, hanya kepada-Mu kami bersyukur.

Pepeng dan Tami.


Sebuah Elegi untuk Anakku

Sebuah Elegi untuk Anakku
Oleh Andrey Gromico












Anakku, terkadang kebenaran menyakitkan. Dan kebenaran yang akan kukatakan kali ini, mungkin adalah salah satunya. Jika sesudahnya kalian membenciku, aku rela. Karena beginilah ibu.

Tak perlu aku jelaskan betapa sulit hidup yang kita lalui. Segalanya butuh uang. Sejak ayah tidak ada, ibu harus berjuang sendiri untuk mendapatkannya demi mencukupi kebutuhan kita. Maaf kalau waktu itu ibu meninggalkan kalian selama tiga bulan tanpa kabar. Saat itu ibu dipenjara karena kasus narkoba. Ayah kalian pun demikian. Ia dipenjara selama tiga tahun dengan kasus yang sama.

Setelah keluar dari penjara, ibu mencoba bekerja di kawasan industri Pulo Gadung. Namun gaji ibu di sana sangat kecil. Tidak akan mungkin bisa mencukupi kebutuhan kita. Akhirnya ibu memutuskan untuk keluar dari pekerjaan itu. Jika ibu bisa memilih, ibu ingin sekali bekerja menjadi sekretaris di suatu perusahaan besar. Tapi apalah daya, ibu hanya punya ijazah SD. Ibu juga ingin sekali memiliki usaha. Tapi ibu tidak punya uang untuk modal.

Ibu tidak tahu lagi harus bagaimana. Semua jalan buntu. Akhirnya, ibu memutuskan untuk menjadi  seorang wanita penghibur. Sudah dua tahun belakangan ini ibu bekerja seperti itu. Bagi ibu, semua yang ibu lakukan ini adalah usaha untuk mencukupi kebutuhan kita. Ibu tidak peduli apakah pekerjaan ini haram atau tidak. Ibu hanya berusaha agar kalian tetap bisa melanjutkan sekolah, hingga menjadi seorang sarjana. Bahkan bisa sampai naik haji. Semoga kalian dapat menghargai niat baik ibumu ini.

Maafkan ibumu ini, anakku... 

Kamis, 16 Juni 2011

Klub Petarung Jalanan

Klub Petarung Jalanan
Oleh Yulisa N. Halida










“Every dream deserve a fighting chance” – The Fighter

Kondisi kehidupan yang sulit sejatinya adalah ujian yang harus dihadapi dengan hati dan usaha yang besar. Inilah yang diyakini Williem Lojor, mantan petinju asal Lembata yang kini memiliki sasana tinju King Lembata BC. Kecintaannya terhadap anak-anak didiknya membuat Lojor bersedia melakukan apa saja. Ia pernah menjadi petugas security di sebuah gedung, memberikan jasa pengawalan, promotor tinju, pengamanan aset gedung dan lahan maupun sebagai tukang tagih utang untuk memenuhi kebutuhan para petinjunya dan keluarganya, meskipun semuanya pas-pasan.

Masa lalunya yang kelam sebagai preman ia jadikan semangat untuk memberikan manfaat bagi banyak orang. Sasana kebanggaannya berdiri di sebuah lahan gedung kosong yang tak terpakai, di daerah Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Sasana ini berisikan petinju-petinju yang berasal dari Indonesia Timur. Mereka pemuda-pemuda pendatang yang berjuang untuk mengadu nasib di ibukota. Mereka meninggalkan tanah kelahirannya dengan harapan bisa pulang membawa kesuksesan. Latar belakang mereka preman jalanan, security sebuah gedung, ataupun memang sengaja dibawa Lojor, untuk kemudian diasuh dan dilatih menjadi seorang petinju profesional.

Sebuah sasana tinju mampu bertahan hanya dengan tempat latihan seadanya, namun tetap bisa menghasilkan petinju-petinju yang profesional dan berprestasi. Bahkan sudah ada yang memenangkan kejuaraan dan memperoleh sabuk emas. 

Bagi Lojor, tinju bukan saja sekadar olahraga. Tinju adalah hidupnya.