Kamis, 16 Juni 2011

Anak - Anak Macgyver

Anak - Anak Macgyver
Oleh Anastasia Widyaningsih







 
 
Suatu siang di ITC Mangga Dua yang mulai ramai, segerombolan anak-anak berseragam menunggu di sudut lobi. “Saya mau bekerja, Kak. Setiap bekerja saya harus pakai seragam, kalau tidak, saya tidak boleh masuk. Dikira mau nyopet.”  Mereka adalah anak-anak yang bekerja mengangkat barang belanjaan pengunjung pusat perbelanjaan tersebut.

Seragam itu adalah pemberian pemilik toko karpet bertajuk Macgyver. Sang empunya tersentuh melihat anak-anak itu kerap berkejar-kejaran dengan petugas
keamanan. Dua puluh tujuh anak diberi seragam, sekaligus jaminan bahwa mereka akan berkelakuan baik. Penghasilan anak-anak tersebut pun tidak diambil sepeser pun.

Fachry, yang oleh teman-temannya dipanggil Tompel, adalah salah satu anak Macgyver. Seharusnya sekarang ia duduk di kelas empat SD, namun kondisi keuangan keluarganya mengharuskannya putus sekolah. Ayahnya yang hanya kuli angkut dan ibunya yang tukang cuci panggilan membuat Tompel harus turut mencari nafkah.

Setiap hari Tompel berangkat menuju ITC Mangga Dua yang hanya 5 menit dari rumahnya. Mulai dari jam 12 siang ia berkeliaran menawarkan jasa hingga pusat perbelanjaan itu tutup. Upahnya lumayan. Per hari antara 30-200 ribu rupiah. Sebagian ia berikan kepada ibunya, sisanya untuk jajan atau bermain kartu.

Tompel dan teman-temannya adalah potret pekerja anak yang tercabut dari dunia pendidikan. Ibarat gunung es, jumlahnya bisa lebih dari yang kita tahu. Kemiskinan, absolut menjadi alasan utama ketimpangan ini, sehingga kendali terhadap jumlah pekerja anak dapat menjadi indikator penurunan angka kemiskinan di negeri ini.

Mengembalikan mereka ke dunia pendidikan adalah mengembalikan harapan masa depan.

“Saya mau sekolah lagi, Kak!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar