Kamis, 16 Juni 2011

Muroami

Muroami
Oleh Idham Rahmanarto


 




 

Di suatu pulau, di barat Kepulauan Seribu, dimana matahari biasa terbenam. Daratan padat penduduk di antara laut dan pulau-pulau kecil yang mengapit. Mereka menyelami biru, menghilang di kedalaman, bergantung pada selang-selang mesin pencipta angin di permukaan. Mereka itu, nelayan muroami, nelayan dengan jaring tanpa kantong.

Dikepalai oleh seorang gongsol (pemimpin kongsi), mereka berlayar mengarungi perairan sekitar pulau, mencari lingkaran terumbu karang dengan menggunakan peralatan post-modern, GPS. Melalui ombak yang bersahutan rendah membentuk beberapa gulungan-gulungan pendek di permukaan. Disitulah tempat mereka akan singgah.

Tanpa pemanasan di permukaan, nelayan muroami pun langsung menyelam, terpisah arah, dengan bergantung pada selang masing-masing, dua awak kapal tetap tinggal untuk mengawasi selang-selang kompresor para penyelam.
Senja pun menghampiri, kelelahan itu pun terbesit dari raut, bercampur air laut, membiaskan sepotong cahaya kepuasan. Ah, mari pulang!

Dalam dunia muroami, menggantung hidup pada selang kompresor merupakan bagian dari keseharian, resiko kecelakaan kerja hanya akan menjadi ketakutan belaka, tidak lebih. Meskipun tidak sedikit dari teman-teman mereka yang terkena kelumpuhan parsial, dekompresi. Inilah yang harus mereka jalani, seperti menatap langit mendung lalu berharap bintang jatuh. Kehidupan yang kasat mata, dekat dengan ancaman, namun kebanggaan sebagai muroami tidak pernah hilang.

“Sudah sejak kelas enam SD saya menjadi muroami, menyelam dengan kompresor, karena tidak ada pilihan, tapi sekarang saya bisa memberikan pilihan untuk keenam anak saya.“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar