Rabu, 15 Juni 2011

Membuka Mata

Saat-saat akhir menjelang menggelar pameran foto sebagai akhir kegiatan dari rangkaian workshop kelas fotojurnalistik,  adalah saat yang menegangkan bagi para peserta. Layaknya membuat tugas akhir di bangku kuliah, setiap peserta harus mengajukan alasan-alasan mengapa suatu peristiwa atau subjek layak difoto. Ide yang ditawarkan harus mempunyai nilai berita yang kuat, ide yang segar, angle yang berbeda dari sebelumnya. Tentu saja, ini bukan hal yang mudah. Bolak-balik memotret dan berdiskusi merupakan hal yang biasa untuk memperoleh hasil yang terbaik.

Adhi Wicaksono dengan foto-fotonya berhasil masuk ke dalam kelompok punk jalanan di Bekasi dengan begitu dekat , memperlihatkan cara hidup mereka yang biasanya sulit dimasuki orang luar kelompoknya. Bagi Caron Toshiko , menjadi anak jalanan adalah sebuah pilihan  agar bisa bertahan dalam kerasnya ibukota. Ia tak segan masuk ke kolong-kolong jembatan tempat mereka tidur di kawasan Grogol untuk mengenal lebih dalam. Andrey Gromico  sempat ikut mencarikan kost untuk seorang perempuan seks komersial saat bertamu ke rumah wanita  yang mempunyai empat orang anak ini. Mira Amira yang tidak sengaja mengetahui ternyata temannya seorang lesbian akhirnya  tertarik untuk mengupasnya lebih jauh. Immanuel Antonius di saat-saat akhir,  bisa meyakinkan subjeknya agar mau difoto saat meliuk-liuk dengan pakaian minim di sebuah kelab malam.

Dalam fotojurnalistik, sisi-sisi kemanusiaan  selalu menarik untuk digali.  Untuk itulah Ali Syahbana memotret Pepeng,  pembuat acara  kuis Jari-jari yang sekarang terkena multiple sclerosis,  dari sisi pandang istrinya yang setia mendampinginya. Ahmad Syah Reza berempati pada manusia  yang asyik dengan dunia kesendiriannya.  Menjadi tua bukan berarti berhenti berpikiran kritis. Para penghuni panti jompo eks Tapol orde lama ini rajin mengikuti perkembangan politik dan menuntut persamaan hak-hak  seperti yang direkam Kurniyanto. Yulisa Halida tidak segan masuk ke dunia lelaki, mengikuti seorang petugas keamanan sekaligus merangkap sebagai pelatih tinju yang gigih dengan sasana ala kadarnya.

Menjadi seperti idola tidaklah mudah, butuh keuletan dan kerja keras. Perjuangan itulah yang direkam Vitalis Yogi saat mendatangi pelatihan atlet junior bulutangkis. Tedi Kriyanto mengajak kita merasakan saat-saat pe-nantian, kesepian, dan harapan para calon Tenaga Kerja Wanita sebelum dikirim ke  Arab Saudi.  Saat Gunung Merapi reda batuknya, Budi Setiawan berangkat ke Yogya. Bukan untuk memotret sisa-sisa guyuran abu vulkanik, tapi untuk memotret upacara pemberkatan mata air agar tetap mengalir.

Kota Jakarta  bagi sebagian orang adalah sebuah harapan, seperti  impiannya para pedagang kopi yang bertebaran di sudut kota yang direkam oleh Prayogi. Jakarta yang padat hanya menyisakan ruang yang sempit bagi Mazini Hafizhuddin dan kawan-kawannya untuk bermain skateboard, sehingga mereka terpaksa mengasah keterampilannya di fasilitas publik.  Lain lagi dengan Maria Yuniar, yang terpesona dengan kehidupan para penghuni di pinggiran rel kereta api. 

Idham Rahmanarto harus rela diombang-ambing badai dalam sebuah perahu saat ikut bersama penyelam yang hanya bermodal kompresor untuk mengambil anemon di kedalaman laut.  Anastasia Widyaningsih,  akhirnya mengerti, mengapa begitu banyak anak-anak usia sekolah berhenti melanjutkan sekolah dan lebih memilih bekerja, walaupun itu bukan kewajibannya.

Selamat menikmati karya-karya peserta workshop fotojurnalistik Antara angkatan ke-XVI. Mereka merekam, mencatat, menyuarakan apa yang dilihat dan dirasakan. Membuka mata kita, menyampaikan sesuatu yang sebelumnya mungkin tidak diketahui kebanyakan orang. Masuk ke ruang pribadi, ke dalam komunitas yang  sebe-lumnya tidak terbayangkan.

Rully Kesuma
Pengajar kelas fotojurnalistik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar